SimponiSimfoni
Cerpen Putu Wijaya
Waktu si Karl belum datang, hidup Om Bandowo rasanya damai. Bertahun – tahun hidup di lingkungan real estate kelas menengah dibilangan sunter, dia anggap sudah cukup afdal. Air sumur entah sedikit dan bikin keropos kendaraan, tak apalah. Mana ada air bersih lagi yang seratus persen bening di Jakarta. Air PAM-ny juga sering kacau.
Jadi ia oke – oke saja. Orang sibuk lari keluar kota cari pemandangan yang lebih alamiah, dia tidak peduli. Lama – lama luar kota juga akan jadi kota. Kemana saja lari, cepat atau lambat juga orang akan dikuntit oleh pembangunan. Rimba beton dan tiang – tiang besi sudah merupakan era yang harus diterima. Berguru kepada kebijaksanaan Jawa, dia pun pasrah dan nrimo. Dan itu membuatnya tentram, tenang dan bahagia.
Tapi begitu si Karl, tamunya dari New York, Amerika muncul, kebahagiaan Om Bandowo hilang. Rumahnya terasa jadi neraka. Udara panas. Dan udara Jakarta penuh polusi. Dan hidup pun penuh kekurangan. Apa pasal?
Soalnya si Karl tampak semerawut. Ternyata orang Manhattan itu sama sekali tidak bisa tidur. Dia bilang, semalam suntuk kamar gerah bukan main. Katanya sama saja didalam oven. Kalau jendela dibuka, nyamuk dari seluruh wilayah Jakarta Utara menyerbu pemuda berkulit putih itu. Dia tersiksa.
“Tapi karena sudah lelah, dan udara agak sejuk waktu subuh, saya akhirnya mulai dapat tidur,” kata si Karl dengan mata merah melotot. “Tapi baru beberapa detik, saya kaget. Di luar kedengaran suara lound speaker keras sekali. Saya kira ada kebakaran. Saya meloncat
bangun. Sialan ! Ternyata itu tukang roti menawarkan rotinya berkoar-koar. Bagaimana sampai roti punya hak menggangu ketenangan masyarakat yang sedang tidur seperti itu?”
Om Bandowo tak mampu menjawab. Dia hanya minta, supaya Karl memaafkan dan memaklumi. Lalu menganjurkan agar Karl masuk kembali ke kamarnya untuk tidur.
Tapi begitu Karl masuk ke kamar, bencana datang lagi. Sekarang tukang bakso. Dengan mobilnya yang lebih berisik, dia muncul dengan speaker yang menyakitkan. Karl langsung membuka pintu lagi dan ternganga di teras. Belum selesai mulutnya terbuka, disusul oleh tukang siomay yang pakai sepeda tapi pakai bunyi-bunyian elektronik nada tinggi menonton, sehingga sama efektif menggangu.
“Apa-apaan ini? Apa ini akan terus begini setiap hari? Bagaimana saya hidup dengan ancaman polusi bunyi seperti ini? Bagaimana anda dapat tenang dengan semua ini disini, Mas Bandowo?”
Om Bandowo tercengang. Mati kutu tidak mampu menjawab.
Sore itu juga dia melepas Karl untuk berangkat ke Yogya, karena tak mampu hidup di Jakarta. Om Bandowo tak manahannya.
Setelah Karl pergi, Om Bandowo termenung. Selama ini dia menganggap semua itu biasa. Bagian dari kesibukan pagi. Dia tak pernah terganggu. Dia tak pernah mendengar apa-apa. Apa karena telinganya telah buntet?
Pagi esoknya Om Bandowo mencoba mendengarkan bunyi-bunyian yang telah menyiksa si Karl itu. Aduh betul juga. Ternyata tukang roti itu berkoar-koar dengan lound speaker seperti menggebrak orang. Knalpot bajaj meledak-ledak menggedor jendela. Telinganya jadi terasa dirobek-robek. Kamar langsung jadi terasa panas bukan main. Disambung oleh sebuan nyamuk yang binal mencubiti sekujur tubuhnya.
Om Bandowo mendusin sekarang. Dia senewen. Tekanan darahnya naik. Dia tidak tahan. Langsung keluar rumah. Merapat ke pagar, membentak tukang roti dengan suara menggeledek.
“Stop! Stooooooopppp! Jangan bunyikan lound speaker kalau lewat disini, bego! Gua kagak bisa tidur gara-gara elu!”
Tukang roti terkejut. Om Bandowo yang biasa duduk tenang dan lembut itu tampak aneh. Seperti baru bangun dari kubur. Dia tercengang. Tak sadar lalu bertanya lewat mik ditangannya.
“Selamat pagi, Om. Apa kabar? Mau roti apa? Mumpung masih hangat.”
“Pergi! Pergi! Kalau tidak, gua panggil hansip! Cepetan pergiiiiiii!
Tukang roti itu tercengang, lalu buru-buru menekan knop off pada mik-nya. Terus melarikan mobil. Sejak itu setiap kali lewat depan rumah Bandowo, dia tak berani menjajakan dagangannya. Perilaku itu dikuntit oleh pedagang-pedagang yang lain yang rata-rata sudah disemprot Om Bandowo.
Tiga bulan kemudian, si Karl kembali muncul dirumah Bandowo. Kali ini dia mau bilang good bye, karena akan pulang ke negerinya. Om Bandowo tidak berani menawarkan menginap, tapi si Karl malah bertanya, apa boleh tinggal barang dua malam. Om Bandowo menerima dengan senang hati, sebab dia sudah yakin rumahnya bebas polusi bunyi.
Malam berlalu dengan santai. Besok paginya, Om Bandowo menunggu diteras dengan sarapan pagi dan senyum besar.
“Gimana Karl, dapat tidur, ‘kan?”
Karl menggeleng kepala dan mengangkat pundaknya seperti kecewa. Om Bandowo bingung.
“Lho kenapa, Karl? Tukang-tukang jualan itu ‘kan sudah tidak mengganggu lagi?”
“Ya, itulah soalnya,” kata si Karl. “ kalau tidak salah, dulu waktu saya kemari nginap disini, mereka ‘kan banyak sekali. Ada tukang roti, tukang siomay, tukang sayur, macam-macam begitu. Mereka kaya dengan bunyi. Setiap mereka punya bunyi dengan karakter masing-masing, seperti sebuah simpony yang indah. Sekarang kemana mereka? Kenapa lingkungan ini menjadi seperti mati, tidak ada kegairahan hidup yang spontan seperti dulu?”
Om Bandowo terpesona …….” Simponi. Itu simponi?” desisnya sambil mengenangkan bunyi-bunyian itu. Dan merasakan betapa sepinya suasana tanpa semua itu. Maka begitu si Karl pergi, Bandowo langsung memanggil tukang-tukang itu dan berteriak:
“Ayo, bunyikan lagi! Bunyikan yang keras simponinya!”
(Sumber: Antologi Cerpen Putu Wijaya Protes, hal. 75, Grafiti, 1995) http://www.ben-na.co.cc
Selasa, 03 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Kirim comment ke sini!!!